
“Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.
(Markus 10 : 14b – 16 )
Tiga huruf di atas sering kita jumpai dalam komunikasi pesan singkat. Ketika saya pertama kali mendapatkan singkatan itu dalam sms 18 tahun lalu, saya bingung singkatan apa itu. Waktu itu singkatan ini jadi penutup sms antarsesama orang Kristen, walau isinya bukan soal keimanan. Tetapi dua tahun belakangan, saya juga menerima akhir pesan yang sama dari teman non-Kristen. Saya tidak mempermasalahkan siapa pemberi pesan, saya justru mempertanyakan tujuan penggunaannya.
Siapa yang tidak suka berkat, apalagi jika diberikan oleh Sang Sumber Berkat? Sudah pasti isinya super, maksimal dan utama. Tidak dipungkiri bahwa berkat Tuhan tersedia dan diberikan-Nya dengan limpahnya. Tetapi ketika kita menulis GBU, benarkah kita sedang menyampaikan pesan akan berkat Tuhan? Penulisan GBU secara asal saja dapat menghilangkan bobot yang terkandung dalamnya.
Dalam kisah Tuhan Yesus memberkati anak-anak, yang tertangkap adalah murid-murid tidak suka anak-anak sedangkan Yesus mengasihi mereka. Namun kisah tersebut sebenarnya punya empat esensi. Pertama, Yesus memandang penerima berkat, yakni anak-anak memiliki kualitas dan mengakui baiknya kualitas tersebut. Apakah kita secara sadar melihat kualitas baik dari penerima pesan GBU dan mengakui baiknya kualitas yang mereka miliki?
Kedua, Yesus melihat potensi dari penerima berkat untuk mengaplikasikan berkat dalam hidup selanjutnya. Artinya Yesus melihat bahwa anak-anak itu punya kemampuan untuk menerapkan berkat yang diterima dalam hidup mereka. Berkat mereka memiliki dampak. Apakah ketika menulis GBU kita juga tahu betul bagaimana penerimanya menjalani hidup sesuai dengan maksud GBU itu?
Ketiga, Yesus tidak mengikuti tuntutan orang lain ketika ia memutuskan untuk memberkati anak-anak itu. Ia tahu manfaat memberi berkat lebih besar daripada menuruti tuntutan orang lain. Bagaimana dengan kita, apakah kita tetap menulis GBU ketika penerima berkat bukan orang yang pantas menurut pandangan banyak orang?
Keempat, dalam kasih yang hangat berkat itu diberi. Yesus memeluk anak-anak lalu memberkati mereka. Ia mem-prekondisi-kan agar berkat tersebut dapat bertumbuh dengan maksimal lewat mengasihi anak-anak itu dulu. Apakah ketika kita menulis GBU, kita mengasihi penerimanya dengan kasih yang hangat?
Perenungan atas kisah ini membuat saya menyadari bahwa menulis GBU seharusnya didahului oleh pemaknaan yang benar akan arti GBU, yaitu bagaimana kondisi hati saya dan cara saya memperlakukan penerima pesan tersebut. Penulisan GBU seharusnya tidak asal saja saya lakukan. Tetapi apakah kehati-hatian dalam memberikannya berarti membuat kita tidak berani menggunakan GBU lagi? Justru sebaliknya, sebab ketika kita menggunakan keempat prinsip di atas, penulisan GBU menjadikan pesan kita kuat dan bermakna. Selamat menutup pesan dengan GBU.
(Novi Lasi)