
“Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”
(Roma 12: 15 – TB2)
Sukacita atau kegembiraan atau kebahagiaan itulah yang diinginkan setiap orang dalam setiap aspek kehidupan. Sayangnya sukacita tidak selalu bisa dirasakan, terutama untuk karakter orang tertentu. Sukacita yang sesungguhnya dirasakan dari dalam hati bukan sekadar muncul di permukaan yang dilihat orang. Demikian juga dengan perasaan empati pada suatu keadaan yang kurang baik, bukanlah hal mudah yang bisa ditunjukkan di dalam dan dari diri kita kepada orang lain secara tulus. Padahal dalam kehidupan bersama setiap orang terutama sebagai anak-anak Tuhan sudah diberikan anugerah untuk bersukacita dan juga berempati kepada sesama.
Sebagai ilustrasi kita melihat contoh kehidupan berikut. Di dalam pertemuan atau saat waktu berkumpul dengan banyak orang di lingkungan mana saja – di kampus, di pekerjaan, di lingkungan sosial, gereja atau di lingkaran keluarga – kita bisa menampilkan sikap baik berupa perhatian, antusiasme, kasih, dan sukacita bersama. Namun apakah sikap baik itu sungguh tulus keluar dari hati kita (Roma 12:9a)? Apakah kita sedang berbagi kasih yang tulus dengan hati yang gembira?
Apakah kita berbahagia bersama dengan orang lain? Apakah kita bersukacita terkhusus saat kita merasa sesungguhnya pikiran kita tidak sejalan atau sependapat dengan orang lain, bahkan tidak didengar? Terkadang, kita mungkin tanpa sadar membandingkan diri dengan orang lain hingga akhirnya kita menjadi merana karena merasa pada posisi superior atau bahkan inferior karena keberadaan kita tidak diperhatikan. Akhirnya kita memendam rasa kecewa dan tidak bahagia sekalipun wajah kita tersenyum.
Roma 12: 9 – 21 sungguh mengingatkan kita untuk terus menerus hidup dalam kasih yang tulus. Iblis selalu mengintai dengan membisikkan logika-logika pembenaran pikiran dalam menilai situasi atau menilai orang lain dan diri kita sendiri. Akibatnya kita akan kehilangan sukacita dan damai sejahtera dalam diri kita sendiri dan ketika kita bersama orang lain yang sedang bersukacita. Sebaliknya kita juga bisa menjadi kurang empati dengan orang yang sedang berdukacita karena pemikiran dan kasih kita yang kurang tulus. Roma 12: 18 mengingatkan, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”
Melalui doa, kita berharap Tuhan memberikan kemampuan untuk dapat mengasihi dengan tulus. Kiranya Firman Tuhan yang terus menolong kita dan Roh Kudus yang memurnikan hati kita untuk mampu memiliki kasih yang tulus dan membagikannya bagi sesama, seperti yang diajarkan Roma 12 di atas untuk bersukacita, berempati, dan hidup damai dengan semua orang.
(Pnt. Dewi Muliaty)