“Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!”
(Yesaya 55 : 6)
Awal tahun 2015, saya menerima telepon dari salah satu pengurus gereja di Surabaya yang menanyakan kesediaan waktu saya untuk berbagi cerita dan pengalaman iman berjalan bersama Yesus serta perjalanan hidup sebagai seorang akuntan di salah satu perusahan multinasional yang cukup ternama di bidangnya. Saya langsung menyambut kesempatan yang Tuhan beri ini dengan sukacita. Hari yang dinanti-nanti pun tiba, saya sangat antusias untuk segera berbagi cerita tersebut dengan generasi muda gereja yang datang dari seluruh penjuru kepulauan di Indonesia. Kesempatan langka ini tidak boleh saya sia-siakan, karena Jambore ini hanya diselenggarakan setiap 4 tahun sekali.
Singkat cerita, sampailah saya di tempat Jambore tersebut diselenggarakan. Senang hati rasanya bisa berjumpa generasi muda yang sangat antusias mengikuti acara Jambore yang sangat mereka nantikan dalam mengisi liburan sekolah. Namun, dalam beberapa jam saja, kegembiraan saya tiba-tiba sirna ketika saya menerima kabar dari kakak tertua saya bahwa kakak saya di Semarang dirawat di ruang ICU. Sepanjang sore hingga malam saat mengikuti ibadah dalam acara Jambore tersebut saya merasa hancur sampai tak terasa air mata jatuh membasahi pipi ketika menyanyikan pujian yang mengagungkan kebesaran Tuhan. Seolah lewat pujian-pujian tersebut, Tuhan ingin melawat juga menegur saya, “Mengapa kamu kuatir?”
Malam menjelang ketika hendak berbaring, saya menangis dan berseru dalam doa saya: “Tuhan, tolong tenangkan hati saya.” Di tengah kegamangan hati dan kesedihan saya antara membayangkan wajah kakak saya yang sedang terbaring tak berdaya di ruang ICU dan komitmen saya untuk berbagi dengan generasi muda gereja melalui sesi yang akan saya bawakan keesokan harinya. Saya tidak ingin konsentrasi saya terganggu, ketika keesokan harinya saya harus berbagi kisah pelayanan dan pekerjaan saya. Akhirnya sesi berbagi pun berlangsung dengan baik. Saya merasakan Tuhan sendiri yang berbicara sepanjang sesi tersebut berlangsung, hingga tak henti-hentinya saya mengucap syukur atas anugerah-Nya yang begitu besar. Selesai sesi, malam itu juga saya kembali ke Surabaya dan segera berangkat ke Semarang untuk menjenguk kakak saya yang sedang terbaring di RS karena kelemahan fisiknya. Kembali saya mengalami anugerah-Nya. Saya mendapatkan kesempatan untuk menjenguk kakak saya, walau awalnya hati saya bimbang karena adanya acara di Surabaya.
Di sinilah saya belajar untuk percaya bahwa hanya Tuhan sandaran hidup. Di saat yang sulit dan di persimpangan jalan sekalipun ketika kita harus memilih berbagai kesempatan dan keadaan, percayalah bahwa janji Tuhan selalu “YA dan AMIN.” Saya mengerti mengapa penulis Yesaya menasihati penduduk Israel untuk mencari Tuhan sepanjang hidup mereka. Saat Tuhan ada dan hadir dalam hidup manusia, maka kita tahu kepada siapa kita bersandar dengan teguh. Kita mengerti prioritas utama yang harus kita pilih dalam pilihan-pilihan hidup kita. Tanpa Tuhan, kita tidak akan mengerti makna hidup kita serta panggilan kita. Tanpa Tuhan, kita pun tidak sanggup menjalani berbagai pilihan hidup kita dengan segala risiko dan konsekuensinya. Dari dua peristiwa yang harus saya jalani seperti kisah saya di atas, saya belajar artinya bersandar; apa artinya mencari Tuhan dalam situasi yang membingungkan. Dia selalu memberikan jalan keluar. Soli Deo Gloria.
(Kumalawati Abadi)