Warta Minggu Ini
MERASAKAN DAN MENYELAMI PERBUATAN TUHAN

“Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku, perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau! Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.”
(Mazmur 40 : 6)

Carl Honoré, seorang jurnalis-penulis, dalam bukunya yang berjudul In Praise of Slow, dengan cermat memotret fenomena dunia masa kini, yang olehnya disebut tengah dibekap oleh mitos kecepatan. Apa yang cepat dipandang bagus dan baik – malah ada yang menganggapnya terbaik. Karenanya, orang-orang modern sepertinya dipacu untuk bergerak lebih cepat dan membuat sesuatu yang super cepat.

Bukankah situasi di atas dengan mudah kita jumpai dalam kehidupan ini? Mereka yang bekerja kantoran, setiap pagi harus bangun cepat-cepat dan berangkat tepat waktu, karena keterlambatan keluar dari rumah lima menit saja dampaknya bisa puluhan menit atau malah berjam-jam. Memang, kecepatan perlu diakui dapat menghasilkan efisiensi. Jika dulu, dengan teknologi yang dikenal dengan afdruk foto, dalam 3 hari hanya bisa menghasilkan puluhan pas foto, maka dengan teknologi yang ada sekarang, dalam jangka waktu 3 jam bisa menghasilkan ratusan malah ribuan pas foto. Kecepatan memang bisa mendatangkan kebaikan.

Lantas, apakah yang lambat berarti buruk atau tidak baik? Hal inilah yang coba dikritisi oleh Honoré dalam bukunya tersebut. Apa yang lambat bisa juga mendatangkan kebaikan. Misalnya: mengunyah makanan. Bukankah ilmu kesehatan mengingatkan kita untuk mengunyah 30-an kali untuk satu suapan makanan? Dengan mengunyah secara lambat, maka makanan yang ada menjadi hancur dan lunak dengan baik serta bercampur dengan enzim. Dampaknya, lambung kita tidak bekerja dengan berat. Enzim dalam tubuh pun bisa lebih dihemat. Jadi, apa yang lambat tidak selalu buruk. Itulah sebabnya, Honoré memberi judul pada bukunya: In Praise of Slow atau memuja kelambatan.

Dalam kaitan dengan kehidupan beriman, situasi dunia yang terasa menuntut kita untuk bergerak cepat, bukan tidak mungkin membuat kita terburu-buru dalam berelasi dengan Tuhan. Kehidupan doa – entah yang dilakukan di pagi atau malam hari, dilakukan tergesa-gesa. Kalau tidak cepat, takut terlambat. Alhasil, dalam dunia yang dibekap oleh mitos kecepatan tersebut, bukan tidak mungkin menghasilkan kekeringan spiritual dalam diri orang beriman. Kehadiran dan perbuatan Tuhan dalam kehidupan kita tidak terlalu dirasakan, sebab banyak hal berlalu (atau dibiarkan berlalu) dengan begitu cepat.

Pemazmur dalam Mazmur 40, menyatakan bahwa ia mengalami banyak perbuatan Tuhan yang ajaib. Dalam ayat 2, ia menyatakan sebagai pribadi yang menanti-nantikan Tuhan. Itu berarti, ia dengan sengaja meluangkan waktunya, untuk merasakan kehadiran dan pertolongan Tuhan. Pemazmur adalah sosok seperti kita: punya masalah, ada beban dalam kehidupannya. Ia membutuhkan pertolongan Tuhan. Pada saat ia melambatkan ritme kehidupannya dengan menantikan pertolongan Tuhan, lantas ia merasakan perbuatan Tuhan yang ajaib atas hidupnya. Berdasarkan pengalamannya itu, ia menyatakan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan adalah berbahagia, sebab Tuhan sungguh hadir dan bertindak.

Saudaraku, kehidupan ini terlalu indah untuk dilalui dalam situasi serba cepat. Melambatkan tempo kehidupan kita bukan berarti kita sedang tidak menghargai waktu anugerah Tuhan. Melambatkan tempo kehidupan kita, akan menolong kita untuk lebih merasakan kehadiran dan perbuatan-Nya di dalam kehidupan kita. Soli Deo Gloria.

(Pdt. Natanael Setiadi)

SAMPAI DI TITIK SAAT INI
“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari...