“Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.”
(1 Raja-raja 19 : 12)
Apabila kita ditanya, “Apa kabar?” oleh seseorang, maka kita menjawab dengan kata, “Baik!!” Itu jawaban standar pada lazimnya. Namun akhir-akhir ini muncul gaya baru dalam merespons pertanyaan semacam itu. “Apa kabar?” Luar biasa!!! Ini dia, jawaban yang sedang trendy. Jawaban ini seolah menjadi konvensi baru yang disepakati agar setiap sapaan ini diucapkan, demikianlah jawabannya: luar biasa!!! Sebenarnya jawaban ini tak ada yang keliru, hanya pemahamannya agak kurang penuh. Jawaban ini seolah-olah fokus kita hanya kepada hal-hal yang luar biasa, yang dahsyat, yang spektakuler. Padahal, hal-hal yang biasa saja, tidak berarti tidak berguna. Hal-hal yang biasa tidak berarti tanpa makna. Malah kita tak boleh kehilangan perasaan terhadap hal-hal yang luar biasa melalui peristiwa yang tampaknya biasa-biasa saja.
Kita harus mengakui bahwa kecenderungan sebagian orang lebih memerhatikan hal yang tampak waahhh. Sebaliknya memandang sebelah mata hal yang biasa. Pendeta yang hebat, pujian yang dahsyat, sering dianggap sebagai ukuran kebermaknaan. Namun Firman Tuhan memperlihatkan bahwa faktanya bisa sebaliknya. Elia yang yang menyangka kedahsyatan angin besar yang mampu membelah gunung dan memecah batu-batu, sebagai tanda kehadiran Allah, ternyata justru menampakkan diri melalui angin sepoi-sepoi (1 Raja-raja 19 : 12). Intinya, Allah sanggup hadir dengan cara apapun. Cara kehadiran Allah tidak bisa dikungkung melalui cara yang kita haruskan. Tak terkecuali melalui kedahsyatan yang tidak kita harapkan. Dia juga bisa hadir melalui hal yang sederhana dan tampak biasa-biasa saja.
Pada kebaktian hari Minggu ini, dalam rangka pembukaan Bulan Musik, kita diajak untuk merasakan yang sederhana, namun bermakna. Mungkin kita sedikit terhenyak, saat sedari awal mendapati ibadah ini terasa “kurang sempurna”. Ada sesuatu yang kurang, ada sesuatu yang terhilang. Kita seperti dibawa masuk pada musik abad pertengahan, ketika pujian dalam ibadah berlangsung a capella (tanpa iringan alat musik) yang saat itu didominasi oleh musik Gregorian. Suasana tersebut dihadirkan kembali dan kita mendapati bahwa apa yang tampaknya kurang, tidaklah selalu seperti yang kita kira tidak bermakna. Kekurangan justru mampu memperlihatkan sisi-sisi kelebihan. Less is more. Kesederhanaan, kebersahajaan ternyata mampu mengisi ruang-ruang kosong dalam hati kita, yang selama ini tak mampu terisi oleh kedahsyatan musik yang gegap gempita.
Kebaktian kita hari ini merupakan upaya untuk menghadirkan kembali ke-apaada-an kita dalam memuji Tuhan. Hanya berbekal mulut dan hati, kita tetap dapat merasakan kehadiran Tuhan yang menjumpai kita melalui puji-pujian. Selamat mengalami perjumpaan dengan Tuhan dalam kesederhanaan.
(Pdt. Natan Kristiyanto)