“Siapa saja yang menyebabkan salah satu dari yang kecil di antara yang percaya kepada-Ku ini berbuat dosa, lebih baik baginya jika sebuah batu giling diikatkan pada lehernya, lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut”
(Matius 18: 6 – TB2)
Bagi kami para guru Sekolah Minggu, ayat itu merupakan salah satu ayat hafalan yang jadi rambu untuk membuat kami waspada, jangan sampai salah memberitakan firman Tuhan kepada anak-anak yang dipercayakan kepada kami. Definisi “menyesatkan anak kecil” mungkin bervariasi antara satu guru dengan guru lainnya. Bagi saya pribadi, “memperkenalkan Allah, sebagai Pribadi yang mahakasih saja” merupakan salah satu bentuk penyesatan berat.
Beberapa rekan guru menghindari penggunaan istilah “Tuhan marah”, karena mereka khawatir, anak-anak salah interpretasi tentang Allah yang mahakasih. Mereka merasa lebih nyaman menggunakan istilah “Tuhan sedih”. Padahal menurut saya sedih dan marah adalah dua hal yang berbeda, dan tidak bisa dipakai untuk saling menggantikan. Saat harus mengusir Adam dan Hawa dari Taman Eden, pastinya Tuhan sedih, tapi pengusiran itu dilakukan-Nya, karena Dia marah, bukan? Dia marah karena Adam dan Hawa melanggar perintah-Nya. Itu adalah realita yang ingin disampaikan Alkitab, termasuk kepada anak-anak.
Memperkenalkan anak-anak akan Allah yang Maha Kasih dan Maha Pengampun saja, bagi saya merupakan salah satu bentuk penyesatan, seperti kelompok yang menekankan hyper-grace. Anak-anak akan tumbuh menjadi orang-orang yang tidak takut untuk bermain-main dengan dosa. Mereka yakin Allah yang Maha Kasih akan selalu bersedia mengampuni dosa-dosa mereka. Padahal Alkitab dengan gamblang menunjukkan, bahwa selain Maha Kasih dan Maha Pengampun, Allah kita adalah Allah yang Maha Kudus dan Maha Adil, Dia benci dosa dan pastinya ada harga yang harus dibayar untuk setiap dosa yang kita lakukan.
Salah seorang rekan guru Sekolah Minggu mengatakan “Bilang saja Tuhan sedih, karena kalau kita bilang “Tuhan marah”, nanti anak-anak membayangkan Tuhan sebagai mamanya yang suka marah-marah” Hmmm… mungkin benar, orang tua kalau sedang marah kadang-kadang lepas kendali. Akan tetapi, masa sih hal itu kita jadikan alasan untuk menyembunyikan kebenaran Alkitab? Walaupun Dia sangat mengasihi kita, tetapi sesungguhnya Dia juga bisa marah… tentu saja berbeda dengan marahnya manusia, kemarahan Tuhan adalah kemarahan yang kudus.
Saya pribadi tidak khawatir, karena saya percaya Roh kudus akan menolong saya dalam bercerita, sehingga melalui saya, anak-anak bisa mengenal Allah sebagai Pribadi yang utuh, selain Maha Kasih dan Maha Pengampun, Dia juga Allah yang Maha Kudus dan Maha Adil. Saya berdoa agar saya dan setiap anak yang dipercayakan kepada saya tumbuh bersama menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa mensyukuri kasih Allah, dan juga selalu berhati-hati untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Allah kami yang Maha Kudus itu marah. Kiranya Roh Kudus selalu mengingatkan kami untuk say No to hypergrace.
(Pnt. Roosmala Djayasukmana)