“Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur. Maka datanglah murid-murid-Nya mem-bangunkan Dia, katanya: “Tuhan, tolonglah, kita binasa”.”
(Matius 8: 24 – 25)
Manusia tidak pernah lepas dari masalah. Sejak dilahirkan, dia musti berjuang mengatasi masalahnya. Dia harus mulai menghirup oksigennya sendiri, harus menyedot dan menelan makanannya sendiri, beradaptasi terhadap suhu, cuaca, dan sebagainya. Ketika manusia menjadi dewasa, menjadi tua, masalah tetap saja ada. Namun, sekalipun semua orang harus berhadapan dengan masalah, bagaimana cara menghadapinya, itulah akan menjadi faktor penentu, apakah masalah itu dapat diatasi atau tidak. Cara menghadapi masalah juga akan menentukan apakah masalah itu membawa kita pada kebaikan, atau sebaliknya, pada keterpurukan bahkan kehancuran.
Saya tidak ingat, dari mana memperoleh ilmu sederhana ini: untuk mengurangi rasa asin pada ikan asin, maka ikan itu harus dicuci dengan air asin. Memang agak aneh, namun seperti itulah faktanya. Tetapi dalam banyak hal, menghadapi masalah dalam hidup tidak bisa dilakukan dengan cara itu, meskipun yang terjadi seringkali begitu. Masalah utamanya belum bisa dituntaskan, namun respons terhadap masalah, menjadi masalah bahkan muncul masalah-masalah baru yang makin memperparah keadaan sebelumnya.
Angin ribut adalah masalah yang dihadapi oleh para murid. Namun cara para murid menghadapi masalah, itu menjadi masalah yang lain lagi. Sebab, selain angin ribut, mereka pun menjadi ribut dan menjadi kalang kabut. Tampak sekali ketakutan mereka, sampai-sampai mereka tiba pada kesimpulan bahwa mereka binasa. Kalau seandainya perahu yang mereka tumpangi itu betul tenggelam, bukan oleh angin ribut itu sendiri, melainkan karena keributan orang-orang yang ada dalam perahu itu. Sama halnya dengan situasi yang kita hadapi saat ini. Kita tahu, Covid-19 adalah masalah. Namun respons terhadap masalah, bisa menimbulkan masalah-masalah yang lebih parah dari Covid-19 itu sendiri, yaitu ketika kita justru menjadi ribut dan gaduh sendiri. Satu dengan yang lain saling menyalahkan, saling membela diri, mencari pembenaran sendiri. Bukannya mencari solusi, namun semakin memperparah persoalan itu sendiri.
Oleh sebab itu dalam menghadapi masalah ini, janganlah kita terjebak hanya pada diskusi tentang harus jabat tangan atau namaste, harus ibadah fisik atau live streaming, harus lockdown atau tetap dalam keseharian normal. Sebab jika itu yang terjadi, bisa-bisa “perahu” kita yang bernama Indonesia ini tenggelam, bukan karena badai Corona, tetapi oleh keributan orang-orang yang ada di dalamnya. Termasuk keributan yang ditimbulkan oleh mereka yang mencari kesempatan untuk memenuhi syahwat kepentingan diri. Kita doakan agar semua tetap bisa bersatu padu, dapat bertindak secara tepat untuk menghadapi “angin ribut” yang saat ini sedang menimpa kita semua.
(Pdt. Natan Kristiyanto)