“Tetapi perempuan itu menjawab: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.””
(Markus 7 : 28)
Saat saya mulai membiasakan membaca Alkitab, kisah pertemuan Yesus dengan wanita Siro-Fenisia yang memohon kesembuhan bagi putrinya ini mengganggu saya. Bayangkan seorang perempuan disamakan dengan anjing oleh Yesus. Kayaknya Yesus kok kasar dan merendahkan perempuan. Suatu hari saya membaca sebuah novel yang dipakai untuk judul renungan ini. Dogged berdasar etimologi bahasa Inggris berasal dari kata dog (anjing), dengan arti memiliki kualitas seperti anjing (abad 13), persisten (tahun 1779), tidak mudah menyerah (tahun 1773). Saya pun teringat akan kisah ibu Siro-Fenisia ini.
Anjing dikenal memiliki kemampuan penciuman yang sangat tajam. Sebagai contoh, anjing dapat mencium 1 sendok teh gula yang dilarutkan di dalam air sebanyak 3.785.411,8 liter. Karena penciuman yang tajam ini maka polisi di berbagai negara memiliki team yang juga beranggotakan anjing. Mereka diperbantukan untuk mencari pelaku atau korban kejahatan atau mendeteksi ranjau darat. Karena anjing juga dikenal tidak mudah menyerah, maka tugas ini sudah pasti akan dituntaskannya bagaimanapun medan yang dihadapinya.
Saya merenungkan arti yang berbeda dalam dialog Yesus dengan ibu Siro-Fenisia itu. Jika seorang anak jatuh sakit, ibunya pasti tidak akan diam saja. Ia akan mengupayakan berbagai cara untuk kesembuhan anaknya. Satu cara tidak mempan, ia akan beralih kepada cara yang lain, sampai anaknya berhasil disembuhkan. Termasuk ibu Siro-Fenisia ini, dia tidak mudah menyerah. Dia mendatangi seorang Penyembuh dari kalangan bangsa Yahudi, bangsa yang selama ini selalu menghina kaumnya, yang merasa bahwa kaumnya hina, kaum kelas bawah. Friksi sosial masyarakat tidak penting baginya, ia percaya apa yang telah didengarnya, Penyembuh yang ia datangi punya kuasa ajaib yang diperlukan putrinya.
Sang ibu memiliki persistensi seperti anjing yang tidak mudah menyerah menghadapi medan apapun. Martabatnya menjadi hal yang kurang penting, ada prioritas yang lebih utama. Bukankah kualitas ini yang seyogyanya dimiliki seorang pengikut Kristus? Sepenuh hati mengupayakan hidup yang memuliakan Tuhan, tidak mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Ketika berulangkali menghadapi hambatan dan rintangan, justru tetap berjalan teguh, bahkan semakin mengasihi Tuhan.
Sebenarnya yang Yesus lakukan adalah Ia tidak sedang menghina ibu Siro-Fenisia ini. Ia sedang memastikan apakah sang ibu benar-benar yakin meminta pertolongan-Nya, seorang Yahudi, dan rela menggantungkan harapannya kepada seseorang dari bangsa penghina bangsanya. Matius mencatat, 3 kali ibu ini menyebut Yesus sebagai Tuhan dan ia tersungkur menyembah-Nya. Sang ibu membuktikan kepercayaannya kepada Yesus dengan melepaskan diri dari martabat dan prasangka. Karena imannya, ia memperoleh apa yang ia inginkan, “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Dan seketika itu juga anaknya sembuh. (Mat. 15 : 28).
Semoga kita pun memiliki iman seperti si perempuan Siro-Fenisia!
(Novi Lasi)